Liputanphatas.com || Sidoarjo, -
Sore belum sepenuhnya sempurna. Matahari baru beberapa saat tergelincir. Belasan pria penari sufi, berdiri di sepanjang jalan di depan Pendopo kabupaten Sidoarjo. Gumam doa berseluncur di dada mereka, agar bisa menyuguhkan keindahan dan hikmah tarian sufi kepada masyarakat. Tentu tak mudah, apalagi kini mereka harus menarikannya sejauh dua kilometer.
Yakni dari alun-alun Sidoarjo menuju GOR Delta Sidoarjo. Tarian sufi ini sekaligus menjadi penanda Nahdlatul Ulama memasuki abad ke-2.
Pagelaran tari sufi ini merupakan bagian dari karnaval budaya nusantara yang digelar pada Selasa sore 7 Februari kemarin, dalam rangkaian peringatan harlah satu abad Nahdlatul Ulama. Gus Muhdlor, Bupati Sidoarjo yang menginisiasi sajian tarian sufi itu, hingga tercatat menjadi salah satu rekor dunia di MURI, sebagai tarian sufi terpanjang dan terjauh.
Tari sufi merupakan khasanah budaya Islam, yang sudah banyak ditampilkan di Indonesia. Diperkenalkan oleh Maulana Jalaluddin Rumi, seorang penyair dan ulama sufi terkemuka, hingga menyebar seantero dunia.
Tarian sufi atau whirling darvishes merupakan sajian seni gerak yang penuh makna mendalam tentang ketuhanan dan kemanusiaan.
"Banyak makna yang terkandung dalam tarian sufi. Mulai dari hakikat ketuhanan dan kemanusiaan” ungkap Gus Muhdlor. Kamis (9/2/2023).
Meski gerakannya terkesan sederhana, tak semua orang bisa melakukannya. Apalagi dalam jangka waktu lama. Seorang penari sufi haruslah terlatih. Tidak hanya dengan gerakannya namun juga olah hati saat berzikir dan menemukan kesadaran diri dalam tarian yang mengandung makna filosofi tinggi.
Sebut saja gerakan memutar, yang menyimbolkan putaran alam semesta dan prosesi tawaf di kakbah. Berputar merupakan keniscayaan dan sunnatullah. Bergantinya siang malam dan semua kondisi dalam kehidupan adalah makna dari Gerakan berputar pada tarian sufi.
Selanjutnya adalah posisi telapak tangan kanan yang menengadah ke langit dan telapak tangan kiri yang menghadap tanah. Posisi telapak tangan itu menyimbolkan harapan dan rasa syukur.
Tangan kanan yang menghadap langit sebagai tanda bahwa manusia selalu haus akan Rahmat Allah, sedangkan telapak tangan kiri yang menghadap tanah, adalah simbol rasa syukur dengan mendayagunakan seluruh Rahmat Allah untuk kemaslahatan manusia, makhluk, dan alam semesta.
“ Sengaja tarian ini dilakukan sepanjang dua kilometer. Hal itu menjadi simbol untuk NU yang telah memasuki abad keduanya,” Ujar Gus Muhdlor.
“Pada abad kedua ini, warga NU harus bisa tetap istiqamah dalam bermunajat kepada Allah dan berbuat yang terbaik untuk kemaslahatan ummat serta alam semesta. Hablumminallah dan hablumminannaas nya harus seimbang.
Seperti halnya simbol dan makna yang ada dalam tarian sufi itu,” pungkas putra dari KH. Agoes Ali Masyhuri pengasuh Ponpes Progresif Lebo Sidoarjo tersebut. (Nit/hlim)
Editor : Dwi. H